Suatu Siang di Pasar Baru

Kalau anda sempat berkunjung ke Pasar Baru cobalah mampir ke Jalan Kesenian. Tepatnya di seberang kali dan persis di depan Gedung Kesenian Jakarta. Di sepanjang sudut jalan itu berjejer rapi berbagai lukisan dan sketsa. Ada sekitar dua puluhan kios. Mereka menyebut dirinya sebagai pelukis jalanan.

Di depan salah satu kios lukisan itu duduk seorang laki-laki bertubuh gempal. Duduk termenung sambil memandangi lalu-lalang kendaraan di jalan raya. Sibuk menunggu para pelanggan yang sudi kiranya mampir ke kiosnya untuk meminta dilukis.

”Dari pagi belum ada yang datang,” keluhnya.

Memang dari sekitar dua puluhan kios di sepanjang jalan itu nampak pemandangan yang berbeda-beda. Kios yang lain sepi. Di tiga atau empat tempat terlihat ramai. Para pemilik kios tersebut, para pelukis jalanan, sibuk melayani para pelanggan. Ada seorang perempuan minta dibuatkan sketsa, dan temannya agar dibuatkan sebuat lukisan. Ada yang minta langsung dilukis saat itu juga. Tapi sepasang suami istri hanya menyerahkan selembar foto. Keduanya memesan sebuah lukisan untuk diambil esok atau lusa kemudian. Setelah memberi sejumlah uang sebagai panjer atau DP mereka pergi.

”Yang gak enaknya, kadang-kadang ada yang minta bikinin lukisan cuma kasih DP doang. Eh besoknya gak balik-balik lagi. Akhirnya harus nombok buat cat sama kanvas. Belum lagi kalau diomelin gara-gara kurang puas sama lukisannya”

”Edi Setiawan. Panggil Edi saja. Asal saya dari Kebumen,” jawabnya ketika ditanyakan tentang nama dan asalnya.

Laki-laki bertubuh gempal itu kemudian bercerita tentang segala cerita bagaimana dia merintis karir di bidang seni lukis jalanan. Awalnya berjualan kartu ucapan dan penulis indah. Sebelum adanya komputer dan printer orang-orang banyak memesan tulisan indah untuk disertakan dalam kartu ucapan. Ramainya kalau menjelang lebaran atau hari raya lainnya. Juga tahun baru.

Tapi sekarang zaman sudah berubah. Orang-orang mengucapkan selamat hari raya pakai telpon atau SMS. Kartu ucapan akhirnya ditinggalkan. Jualan kartu ucapan dan penulis indah juga ditinggalkan.

Bersama rekan-rekan seprofesinya Edi akhirnya banting setir. Mencoba belajar melukis. Menbuat sketsa, juga karikatur. Mula-mula karena saat itu sedang marak masyarakat awam minta diabadikan dalam tulisan atau karikatur. Mengikuti tren para pejabat dan atris yang minta dilukis atau dibuat karikatur. Hingga kemudian mereka mencoba mendalami seni lukis itu sendiri. Bahkan dijadikan profesi sampai sekarang.

”Kalau dihitung-hitung saya dan teman-teman sudah hampir tiga belas tahun bekerja seperti ini. Dari tahun sembilan tigaan.”

Bukti bahwa mereka masih bertahan sampai sekarang salah satunya dikarenakan penghasilan yang cukup lumayan. Memang tidak tiap hari mereka mendapatkan pesanan lukisan atau sketsa. Tapi kalau dapat, untuk sketsa saja bisa dapat tiga ratus ribuan. Lukisan bisa satu jutaan. Cukup lah untuk memenuhi kehidupan sehari-hari Edi bersama satu istri dan dua anak. Lebihnya ditabung. Tidak heran Edi bisa bertubuh gempal.

Tapi uang bukanlah segalanya. Karena kecintaan akan seni lah yang membuat mereka tetap setia dengan profesi pelukis jalanan. Enak, kerjanya tidak terikat waktu, tidak disuruh-suruh sama bos. Bisa bangun siang, mau buka kios bebas jam berapa saja. Bisa bebas berkreasi. Itulah enaknya jadi seniman. Walaupun masih sekedar seniman jalanan.

”saya juga bermimpi kalau suatu saat lukisan saya dilihat oleh kurator terkenal dan diajak pameran.” ujarnya penuh harap. Edi melanjutkan lamunannya.