Hate Speech atau Freedom of Speech?

Pada 30 September 2006 yang lalu, sebuah surat kabar asal Denmark bernama Jyllands-Posten mempublikasikan kartun tentang Nabi Muhammad. Inti dari kartun tersebut adalah satir tentang figur yang dianggap suci dalam agama Islam, yaitu Sang Nabi. Tentunya, dengan kemasan yang sangat tidak netral dan identik dengan stereotip negara-negara Barat tentang Islam dan Umat Muslim. Tujuannya adalah provikasi dan sebagian bahkan menganggapnya sebagai ‘serangan’ terhadap Umat Islam, terutama minoritas Muslim di negara Barat. Sudah barang tentu beberapa hari kemudian muncul banyak protes, mulai dari yang kecil hingga protes besar yang menimbulkan bentrokan serta korban jiwa. Pihak Pemerintah Denmark sendiri membela keputusan media tersebut dengan dalih bahwa tindakan mereka masih dalam konteks kebebasan berbicara (freedom of speech) dan oleh karenanya dilindungi oleh undang-undang negara tersebut.

Peristiwa yang serupa juga terjadi ketika majalah satir asal Perancis, Charlie Hebdo, memuat kartun Nabi Muhammad dengan tujuan mengolok-olok hukum syariah pada sejumlah edisi terbitan mereka circa 2011. Sama halnya dengan media di Denmark, pemerintah lokal menganggap apa yang dimuat oleh Charlie Hebdo adalah sah dan tidak melanggar hukum (pers). Protes kemudian bermunculan dari banyak pihak, terutama Umat Muslim. Berbeda dengan Jyllands-Posten yang sempat meminta maaf terkait publikasi mereka tentang kartun Sang Nabi, tidak demikian dengan Charlie Hebdo. Hingga akhirnya pada 7 Januari 2015 terjadi penyerangan bersenjata ke kantor redaksi media tersebut yang mengakibatkan tewasnya 12 orang dan setidaknya 11 orang lainnya terluka. Publik internasional berduka dan memberikan dukungan mereka terhadap media Perancis ini. Di media sosial banyak dari teman saya, mahasiswa internasional dari berbagai negara (termasuk Indonesia) memasang ‘hastag’ Je suis Charlie (yang artinya ‘saya adalah Charlie’) sebagai bentuk simpati mereka.

Sementara itu, di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim, banyak yang bergembira dengan kejadian tersebut. Sebagian dari mereka menganggap apa yang terjadi pada Charlie Hebdo adalah akibat dari tindakan mereka yang dianggap telah menghina simbol-simbol Islam.

Kejadian lain yang terkait dengan hate speech juga belum lama terjadi di Indonesia. Salah satu kandidat Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (atau Ahok) dalam salah satu kampanyenya di Kepulauan Seribu pada Oktober 2016 menjelaskan kepada warga sekitar agar tidak mudah tertipu oleh mereka-mereka yang menggunakan ayat-ayat Kitab Suci agar tidak memilih calon  Gubernur yang non-Islam. Ahok sendiri adalah kandidat Gubernur DKI Jakarta yang beragama Nasrani dan berasal dari Etnis China. Intinya, Ahok menyatakan agar “jangan mau dibohongi pakai ayat Al-Qur’an (Surat Al-Maidah Ayat 51)” dalam konteks memilih calon gubernur yang mereka inginkan.

Beberapa waktu kemudian muncul sosok Buni Yani, seorang dosen (yang kini sudah tidak aktif) di sebuah kampus komunikasi di Jakarta. Buni Yani selanjutnya membuat transkrip hasil rekaman kampanye Ahok tadi. Celakanya, dalam transkripnya Buni Yani menghilangkan kata ‘pakai’ dari pidato Ahok, sehingga kesan yang muncul adalah calon gubernur ini bilang “jangan mau dibohongi Al-Maidah Ayat 51.” Tidak lama, transkrip yang diunggah ke media sosial menjadi viral. Amarah kemudian muncul, bersumber dari postingan Buni Yani tersebut. Demonstrasi besar-besaran dari sejumlah Umat Islam berturut-turut digelar sebagai bentuk protes. Sebagian besar dari mereka menuntut agar Ahok dipenjara karena sudah dianggap menghina Al-Qur’an, menghina Islam, dan menyakiti perasaan Umat Muslim di Indonesia. Meskipun Buni Yani akhirnya mengakui kesalahannya dalam menghilangkan kata ‘pakai’ dalam transkripnya (dan saat ini juga sedang menjalani proses persidangan terkait dengan tuduhan pelanggaran UU ITE) Ahok sendiri masih harus menjalani siding terkait dengan pasal penghinaan agama yang dituduhkan atas dirinya terkait postingan tadi.

Sebagai bahan diskusi, saya ingin anda memberikan analisis singkat anda terkait dengan ketiga kasus yang dipaparkan di atas tentang sejauh mana sebuah tindakan komunikasi dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan etika komunikasi. Selanjutnya, mengapa satu kasus dapat dikatakan sebagai hate speech sedangkan kasus yang lain tetap dilindungi oleh hukum karena dianggap sebagai freedom of speech. Kalau begitu, apa batasannya? Berikan pendapat anda pada bagian ‘komentar’ di bawah artikel ini.