(Kegagalan) Media Massa Mewujudkan Public Sphere

Jurgen Habermas
Jurgen Habermas

Jika media massa banyak dipahami sebagai sesuatu yang “dari kapitalis oleh kapitalis dan untuk kapitalis”, maka pertanyaannya masih adakah media yang berpihak kepada public sphere? Atau mungkin lebih tepatnya, mampukah media massa berperan sebagai public sphere dalam tatanan masyarakat modern dewasa ini?

Lalu apakah yang dimaksudkan dengan public sphere? Dalam hal ini saya lebih merujuk kepada konsep public sphere dalam pengertian Jurgen Habermas. Konsep tersebut muncul dalam pemikiran Habermas tentang harapan akan aanya suatu kondisi atau suatu dunia (ruang) di mana terjadi suatu komunikasi yang bebas dari dominasi, suatu uncoersive comunication, di dalam masyarakat. Diskusi yang semacam itu hanya mungkin muncul di dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itulah yang disebut dengan public sphere (Hardiman, 1993: 128-129).

Jurgen Habermas (1997) mengungkapkan bahwa tiap-tiap individu berhak dan memiliki hak yang sama untuk masuk ke dalam public shere tersebut. Tiap-tiap orang pada dasarnya sebagai individu yang privat, bukan sebagai orang yang dengan kepentingan bisnis atau politik tertentu. Adanya jaminan bagi mereka untuk berkumpul dan mengekspresikan ide dan gagasan serta pendapat secara bebas tanpa ada perasaan takut atau tekanan dari pihak manapun.

Di dalam The Structural Transformation of The Public Sphere (1997: 27), Habermas menjelaskan sebagai berikut:

“The bourgeois public sphere may be conceived above all as the public sphere of private people come together as public; they soon claimed the public sphere regulated from above against the public authorities themselves, to engage them in a debate over the general rules governing relations in the basically privatized but publicly relevant sphere of commodity exchange and social labor”

Habermas (1997: 105) selanjutnya menambahkan tentang kriteria public sphere sebagai berikut:

“ A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where) citizens… deal with matters of general interest wihout being subjected to coercien…(to) express and publicize their views.”

Jurgen Habermas mengidamkan adanya sebuah situasi di mana munculnya sebuah public sphere (ruang publik), dimana komunikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Dalam esainya, The Public Sphere, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial macam itu dalam sejarah masyarakat modern. Wilayah itu disebutnya “dunia publik” (public sphere). Semua wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik dapat disebut dunia publik. Semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki dunia macam itu. Mereka sebetulnya aalah orang-orang privat, bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, tetapi percakapan mereka membentuk suatu publik, sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang dipercakapkan, melainkan soal-soal kepentingan umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Baru dalam situasi ini orang-orang privat ini berlaku sebagai publik, sebab mereka memiliki jaminan untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dan menyatakan serta mengumumkan opini-opini mereka secara bebas (Hardiman, 1993: 128-129).

Menurut Peter Dahlgren (2002) dalam tatanan masyarakat modern yang tidak memungkinkan untuk munculnya keterwakilan masyarakat dalam pembicaraan komunikasi politik kecuali dalam jumlah yang relatif kecil, maka media massa pada akhirnya diharapkan menjadi institusi public sphere.

Jika dahulu Habermas mencontohkan praktek konkret public sphere dapat kita lihat di coffee house, maka kemunculan media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka peran mereka menurut John Hartley (1992) telah tergantikan oleh media massa.

Namun, pesoalan yang sampai sekarang belum terselesaikan adalah bagaimana menumbuhkan public sphere macam itu, sementara yang namanya dominasi selalu ada di dalam ruang-ruang sosial dan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Bahkan jika kita berbicara tentang media massa, banyak pula dibicarakan adanya kemungkinan-kemungkinan untuk menumbuhkan public sphere di dalam media massa. Media massa diidamkan untuk menjadi ruang bagi publik untuk menyampaikan segala macam gagasan, pemikiran, secara bebas untuk kemudian menjadi opini publik itu sendiri.

Permasalahan yang terjadi adalah ternyata kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan public sphere di dalam media massa adalah sesuatu yang teramat sulit jika tidak mau dikatakan mustahil.

Sejumlah asumsi yang mendasari sulitnya mengharapkan kemunculan publis sphere di dalam media massa antara lain adalah masalah akses. Bahwa tidak semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki akses terhadap media massa itu sendiri. Media massa cenderung melakukan seleksi terhadap siapa-siapa yang berhak atau boleh memiliki akses terhadap media tersebut.

Ruang yang terbatas di dalam media massa juga seringkali dijadikan dalih bagi media massa untuk tidak menyediakan ruangan bagi dunia publik. Ruangan yang dimiliki oleh media massa mayoritas sudah dikavling oleh program-program media itu sendiri, bahkan seringkali ruangan tersebut telah dipesan oleh para pengiklan. Jadi tidak tersisa lagi bagi ruang publik.

Ruangan-ruang media massa selalu penuh oleh program-program yang berisikan kepentingan para pemilik media, pemodal, politisi, dan pengiklan. Bagi siapa-siapa yang memiliki kapital, maka dia memiliki akses yang lebih luas terhadap media massa dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki kapital tersebut.

Habermas (1997: 141-250) sendiri kemudian sempat mengutarakan tentang terjadinya degradasi public sphere yang salah satunya disebabkan justru oleh praktek media massa, dan juga ditambah dengan budaya konsumtif. Media massa dianggap berepran dalam mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang konsumtif, dan bukan lagi masyarakat yang logis. Budaya konsumtif telah mengarahkan masyarakt untuk lebih peduli terhadap konsumerisme daripada politik. Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat seakan makin memberikan tempat bagi kapitalisme untuk ‘menguasai’ praktek media massa. Media massa menjadi tempat untuk iklan dan promosi barang-barang, daripada tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi politik yang penting.

Daftar Pustaka:

  • Habermas, Jürgen (German(1962) English Translation 1997). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge Massachusetts: The MIT Press
  • Dahlgren, Peter, The Public Sphere as Historical Narrative, dalam Denis McQuail (ed), Reader in Mass Communication Theory, Thousand Oakes: Sage, 2002
  • Hardiman, Fransisco Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993

6 thoughts on “(Kegagalan) Media Massa Mewujudkan Public Sphere

  1. waa, baru liat blog ini. bagus pak
    skripsi saya ngebantah pendapat di artikel ini 😀
    dan skrg lg ngerancang tesis buat ngritik mcluhan

  2. media massa -bagaimanapun- hanya alat…. Segala hal ditentukan pelakunya ‘manusia’.
    My opinion, ruang publik ada dimana-mana…, saya melihatnya dalam percakapan keseharian masyarakat..
    Intervensi kekuasaan/kepentingan, merupakan satu kesatuan yg tak bisa diurai…

  3. yupz! betul pak, materinya bagus, mudah2n makin membuka nurani para penulis media massa untuk makin menggunakan hati nuraninya dalam menulis hingga menjadi penulis yang bekerja dengan cinta, cinta kebenaran!

Leave a comment